PERIKATAN (HENDRI F. SIBARANI)
FAKULTAS HUKUM
Ada yang mengatakan bahwa Asas yang mengatakan, bahwa “perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”
mau mengatakan, bahwa: Kreditur pada waktu melaksanakan hak-haknya dan
debitur pada waktu memenuhi kewajibannya (yang timbul dari perjanjian),
harus bertindak (bersikap) dengan mengindahkan (memperhatikan) tuntutan
kepantasan dan kepatutan.
Dengan “perikatan” dapat kita maksudkan sebagai suatu hubungan hukum yang melekatkan hak dan kewajiban diantara para pihaknya, yang lahir baik karena adanya suatu persetujuan maupun karena undang-undang. Sebagai konsekuensi bagi para pihak yang mengikatkan diri ataupun yang terikat dalam hubungan hukum ini adalah timbulnya apa yang dinamakan dalam dunia hukum dengan istilah “prestasi”, yaitu sesuatu yang dapat dituntut. Prestasi ini secara umum dapat di bagi menjadi tiga macam, yaitu prestasi untuk menyerahkan sesuatu; prestasi untuk melakukan sesuatu; dan prestasi untuk tidak melakukan sesuatu.
Pengertian perikatan (verbintenis) memiliki pengertian yang lebih luas daripada pengertian perjanjian (overeenkomst). Dikatakan lebih luas karena perikatan itu dapat terjadi karena :
a. Persetujuan para pihak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya…”. contohnya antara lain : perjanjian jual beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian kredit, perjanjian deposito, dan lainnya.
b. Undang-undang, sebagaimana dimaksud Pasal 1352 KUH Perdata, perikatan itu dapat timbul dari undang-undang saja atau dari undang-undang karena perbuatan orang. Selanjutnya Pasal 1353 KUH Perdata menjelaskan bahwa perikatan yang dilahirkan dari undang-undang karena perbuatan orang, dapat terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum. Atas dasar kedua pasal tersebut, dapat dikemukakan contoh sebagai berikut :
1) Dari undang-undang semata, misalnya Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
2) Dari undang-undang karena perbuatan :
a. Halal (tidak melanggar hukum), misalnya zaakwaarneming atau perwakilan sukarela atau mewakili kepentingan orang lain tanpa diminta atau disuruh oleh orang itu, seperti yang dimaksud oleh pasal 1354 KUHPerdata : “jika seseorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka ia secara diam-diam mengikatkan dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut sehingga orang yang diwakili kepentingan dapat mengerjakan sendiri urusan itu…”.Misalnya, A bertetangga dengan B. Pada suatu saat A pergi ke luar negeri selama 3 bulan. B sebagai tetangga, melihat pekarangan rumah A kotor, tidak terawat dan merusak pemandangan rumah B. Karena itulah B secara sukarela dengan tidak mendapatkan perintah dari A merawat dan membersihkan pekarangan rumah A. Terhadap peristiwa seperti ini maka berdasarkan pasal 1354, B wajib untuk terus menerus membersihkan dan merawat rumah A, sampai dengan A dapat mengerjakan sendiri pekerjaan itu.
b. Melanggar hukum (onreehtmatige daad) seperti yang dimaksud oleh pasal 1365 KUHPer : “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada orang lain karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.Misalnya, motor milik A yang sedang diparkir ditabrak oleh mobil yang dikendarai oleh B yang sedang dalam keadaan mabuk. Berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata, A dapat menuntut B untuk memberikan ganti rugi pada A, atas kerugian yang diderita oleh A yang dikarenakan perbuatan B.
Perikatan adalah hubungan yang terjadi
diantara dua orang atau lebih, yang terletak dalam harta kekayaan, dengan pihak
yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lainnya wajib memenuhi prestasi
itu.
Dari rumus diatas kita lihat bahwa
unsur- unsur perikatan ada empat, yaitu :
1.
Hubungan hukum ;
2.
Kekayaan ; 3. Pihak-pihak, dan
4. Prestasi.
Apa maksudnya? Maksudnya ialah
terhadap hubungan yang terjadi dalam lalu lintas masyarakat, hukum meletakkan
“hak” pada satu pihak dan meletakkan “kewajiban” pada pihak lainnya.Apabila satu pihak tidak mengindahkan
atau melanggar hubungan tadi, lalu hukum memaksakan supaya hubungan tersebut
dipenuhi atau dipulihkan. Untuk menilai suatu hubungan hukum perikatan atau
bukan, maka hukum mempunyai ukuran- ukuran (kriteria) tertentu.
Hak perseorangan adalah hak untuk
menuntut prestasi dari orang tertentu, sedangkan hak kebendaan adalah hak yang
dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Intisari dari perbedaan ini ialah
hak perseorangan adalah suatu hak terhadap seseorang, hak kebendaan adalah hak
suatu benda. Dulu orang berpendapat bahwa hak perseorangan bertentangan dengan
hak kebendaan. Akan tetapi didalam perkembangannya, hak itu tidak lagi
berlawanan, kadang- kadang bergandengan, misalnya jual- beli tidak memutuskan
sewa (pasal 1576 KUH Perdata).
I. Sumber Hukum Perikatan
Sumber hukum perikatan adalah sebagai
berikut :
1. Perjanjian ;
2. Undang- undang, yang dapat dibedakan dalam
Undang- undang semata- mata;
Undang- undang karena perbuatan
manusia yang Halal; Melawan
hukum;
3. Jurisprudensi;
4. Hukum tertulis dan tidak tertulis;
5. Ilmu
pengetahuan hukum.
II. Jenis Perikatan
perikatan dibedakan dalam berbagai-
bagai jenis :
1.
Dilihat dari objeknya
a. Perikatan untuk memberikan sesuatu;
b. Perikatan untuk berbuat sesuatu;
c. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.
Perikatan untuk memberi sesuatu (geven) dan
untuk berbuat sesuatu (doen)
dinamakan perikatan positif dan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu
(niet doen) dinamakan perikatan negatif;
a. perikatan
mana suka (alternatif);
b. perikatan
fakultatif;
c. perikatan
generik dan spesifik;
d. perikatan
yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi (deelbaar dan ondeelbaar);
e. perikatan
yang sepintas
lalu dan terus- menerus (voorbijgaande dan voortdurende).
2. Dilihat
dari subjeknya, maka dapat dibedakan
a.
perikatan tanggung- menanggung (hoofdelijk atau
solidair) ;
b. perikatan pokok dan tambahan ( principale dan
accessoir) ;
3. Dilihat
dari daya kerjanya, maka dapat dibedakan
a. perikatan
dengan ketetapan waktu;
b. perikatan
bersyarat.
Apabila
diatas kita berhadapan dengan berbagai jenis perikatan sebagaimana yang dikenal
Ilmu Hukum perdata, maka undang- undang membedakan jenis perikatan sebagai
berikut:
1.
Perikatan untuk memberi sesuatu, berbuat
sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu;
2.
Perikatan bersyarat;
3.
Perikatan dengan ketetapan waktu;
4.
Perikatan mana suka (alternatif);
5.
Perikatan tanggung- menanggung (hoofdelijk,
solidair);
6.
Perikatan dengan ancaman hukuman.
III. Perikatan Untuk
Memberi Sesuatu
Dalam setiap perikatan untuk
memberikan sesuatu, termaktub kewajiban yang berutang untuk menyerahkan harta
benda yang bersangkutan dan merawatnya sebagai seorang bapak rumah tangga yang
baik, sampai pada saat penyerahan.
Kewajiban yang terakhir ini adalah
kurang, atau lebih luas dari persetujuan- persetujuan tertentu, yang akibat-
akibatnya akan ditunjukkan dalam bab- bab yang bersangkutan. Mengenai perikatan
memberikan sesuatu, undang- undang tidak merumuskan gambaran yang sempurna.
Dari ketentuan diatas dapat
disimpulkan bahwa perikatan memberikan sesuatu adalah perikatan untuk
menyerahkan (leveren) dan merawat benda ( prestasi) sampai pada saat penyerahan
dilakukan.
Kewajiban menyerahkan merupakan
kewajiban pokok, dan kewajiban merawat merupakan kewajiban preparatoir.
Kewajiban preparatoir maksudnya hal- hal yang harus dilakukan oleh debitur
menjelang penyerahan dari benda yang diperjanjikan. Dengan perawatan benda
tersebut dapat utuh, dalam keadaan baik, dan tidak turun harganya. Apabila
dalam perjanjian memberikan sesuatu ada kewajiban mengansuransikan benda yang
bersangkutan, kewajiban itu termasuk kewajiban preparatoir. Didalam kewajiban
memberikan benda itu, ditentukan pula bahwa debitur harus memelihara benda-
benda tersebut sebagai seorang bapak rumah tangga yang baik (als een goed huis
vader).
“ Apabila yang berhutang tidak
memenuhi kewajibannya didalam perikatan untuk berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu, maka diselesaikan dengan memberikan ganti rugi berupa biaya
dan bunga” (pasal 1239 KUH Perdata).
Dalam pada itu, yang berpiutang berhak
menuntut penghapusan segala sesuatu yang dibuat berlawanan dengan perikatan,
dan ia boleh meminta supaya dikuasakan kepada hakim agar menghapus segala
sesuatu yang telah dibuat tadi diatas biaya yang berutang, dengan tidak
mengurangi hak penggantian biaya rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu (
pasal 1240 KUHPerdata).
Ketentuan ini mengandung pedoman untuk
melakukan eksekusi riel pada perjanjian agar tidak berbuat sesuatu.
Yang dimaksud dengan riele eksekusi
ialah kreditur dapat mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan dengan biaya
dari debitur berdasarkan kuasa yang diberikan Hakim. Hal itu dilakukan apabila
debitur enggan melaksanakan prestasi itu.
Riele eksekusi hanya dapat diadakan
dalam perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu.
Pada perikatan untuk berbuat sesuatu
ada hal- hal yang tidak dapat diadakan eksekusi riele, yaitu apabila perikatan
itu sangat pribadi, misalnya perjanjian untuk melukis atau bernyanyi. Dalam hal
ini, untuk melindungi agar kreditur dapat meminta ganti rugi.
Di samping menuntut ganti rugi,
kreditur dapat juga menuntut uang pemaksa (dwangsom) dari debitur. Apabila
kreditur menuntut ganti rugi, haruslah benar- benar dapat dibuktikan bahwa ia
menderita kerugian, sedangkan dalam hal menuntut uang paksa cukuplah kreditur
mengemukakan bahwa debitur tidak memenuhi kewajibannya.
Parate Eksekusi
Sebagaimana diketahui, untuk
melaksanakan riele eksekusi harus dipenuhi satu syarat, yaitu izin dari hakim.
Ini adalah sebagai akibat berlakunya suatu azas hukum, yaitu orang tidak
diperbolehkan menjadi hakim sendiri. Seorang kreditur yang menghendaki
pelaksanaan suatu perjanjian dari seorang yang tidak memenuhi kewajibannya,
harus minta bantuan pengadilan. Akan tetapi, sering debitur dari semula sudah
memberikan persetujuan apabila ia sampai lalai, kreditur berhak melaksanakan
sendiri hak- haknya menurut perjanjian tanpa perantaraan hakim. Jadi,
pelaksanaan prestasi yang dilakukan sendiri oleh kreditur tanpa melalui hakim
disebut parate eksekusi.
“jika perikatan itu bertujuan untuk
tidak berbuat sesuatu, pihak manapun yang berbuat berlawanan dengan perikatan,
karena pelanggaran itu dan karena itu pun saja, berwajiblah ia akan penggantian
biaya rugi dan bunga “ ( pasal 1242 KUH Perdata).
V. Ingkar Janji (Wanprestatie)
wujud dari tidak memenuhi perikatan
itu ada tiga macam, yaitu :
-
Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan;
-
Debitur terlambat memenuhi perikatan;
-
Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi
perikatan.
Dalam kenyataannya, sukar menentukan
saat debitur dikatakan tidak memenuhi perikatan karena ketika mengadakan
perjanjian pihak- pihak tidak menentukan waktu untuk melaksanakan perjanjian
tersebut. Bahkan dalam perikatan, waktu untuk melaksanakan prestasi ditentukan,
cedera janji tidak terjadi dengan sendirinya.
Pernyataan Lalai (ingebreke stelling)
Akibat yang sangat penting dari tidak
dipenuhinya perikatan ialah kreditur dapat meminta ganti rugi atas biaya rugi
dan bunga yang dideritanya.
Adanya kewajiban ganti rugi bagi
debitur, maka Undang- undang menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu
dinyatakan berada dalam keadaan lalai (ingebreke stelling). “Lembaga “Pernyataan Lalai” ini adalah merupakan upaya
hukum untuk sampai kepada sesuatu fase, dimana debitur dinyatakan “ingkar
janji” (pasal 1238 KUH Perdata).
“ yang berutang adalah lalai, apabila
ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akte sejenis itu telah dinyatakan
lalai, atau demikian perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa
siberutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”
(pasal 1238 KUH Perdata)
Demikian artikel tentang perikatan yang bisa saya buat dan sampaikan, terimakasih.
saya HENDRI F. SIBARANI
FAKULTAS HUKU.
Demikian artikel tentang perikatan yang bisa saya buat dan sampaikan, terimakasih.
saya HENDRI F. SIBARANI
FAKULTAS HUKU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar